02 March 2011

Perempuan Tionghoa (Ling Sui Nio)


Masih teringat guratan di wajahnya saat ia sedang marah, senang, tertawa atau sekedar menatap tanpa tahu ujungnya di mana. Di awal-awal kepergiannya, saya selalu membuka lemari itu untuk mengambil sepotong daster, menciuminya… masih ada baunya. Bau khas perempuan tiong hoa.

Perempuan berkulit kuning dan bermata sipit.
Ia sempat hidup pada zaman penajajahan. Seorang saksi sejarah “Romusha” dan bom-bom jepang. Pernah bersembunyi di ruang bawah tanah, sekali terkena bom tapi ia selamat. Entah apa yang dipikirkannya. Setelah ditinggal mati suaminya yang juga seorang tionghoa, ia kemudian menikah lagi dengan seorang pribumi bugis. Mengapa harus dengan seorang pribumi?
Dasar cina! Memantong itu cina! Tanja’ na eh cina aspal! Cina Loleng! Ganyangi cinayya! Itu adalah kalimat-kalimat yang masih sempat saya dengar sekitar tahun 1998 saat melewati kerumunan tukang becak yang mangkal di depan toko-toko cina, ataupun anak-anak kecil yang habis membeli es cream di toko cina. Barangkali tidak mudah hidup dengan penampakan seperti itu. bertahan sebagai kaum minoritas. Mungkin untuk cari amannya, ia memilih pribumi bugis.


Perempuan yang punya dua nama.
Ling sui nio. Ia adalah ibu dari ibuku. Seorang perempuan berayah dan ber ibu tionghoa. Entah berasal dari cina dataran mana. Yang jelas sebelum kemerdekaan ia sudah menempati bumi pertiwi.
Nenekku seorang gadis tionghoa yang cantik, anak tunggal! Ia tak punya saudara, hanya punya seorang saudara sepupu yang juga anak tunggal. Seorang gadis cina! Saya memanggilnya “Toai” (sebutan untuk saudara/sepupu nenek kita). Jika nenek sedang berbicara sesama kerabat cinanya, kata-kata yang paling sering saya dengar adalah “Oeeh, oeeh” artinya “ia, ia”


Seorang perempuan yang suka mengumpulkan giok.
Saya lebih banyak tidur bersama nenek, dengan kasur yang sangat-sangat bersih dan wangi ciri khas nenek. Sebelum tidur, ia tak pernah mendongeng tentang sinderella dan pangeran, atau tentang putri salju dan 7 kurcaci. Ia menceritrakan kepada saya tentang masa penjajahan jepang dan G 30S, jadilah saya belajar sejarah sebelum tidur. Hemm, saya pernah bertanya bagaimana awal pertemuannya dengan kakek? Haha, apa yah jawabnya waktu itu? … (lupa’!) Kau tau, nenek lebih sering memanggil saya dengan panggilan putri (baca : putiri), bukan fitri. Hahaha. Itulah nenek, tak pernah memanggil nama saya dengan sempurna.

Seorang tionghoa yang bercitarasa lokal.
Kemana-mana ia selalu memakai kebaya yang dipadukan sutera atau batik. Ia selalu menasehati kami untuk tidak banyak bergaul dengan lawan jenis. Pernah suatu malam, kakak membawa beberapa temannya (laki-laki dan perempuan) ke depan rumah. Mereka ngobrol sambil tertawa, karena ribut dan sudah larut tanpa tangung-tanggung nenek mengambil segayung air dan mengguyur mereka dari teras lantai 2 rumah kami,Byuuurrr Hemm, rasain!

Mengapa orang cina identik dengan toko kelontong?
Ling sui nio juga seperti itu, sewaktu masih tinggal di rumah sendiri, ia memiliki toko kelontong. Sebuah streotipe yang masih bercokol di benak orang banyak “orang cina itu gila uang!”. Entahlah, tapi yang jelas nenek tidak seperi itu, meskipun sempat memiliki toko tetapi ia bukan penganut kapitalisme. Dalam istilah marketing, ia seorang yang suka “share of wallet”, Yang suka menyelipkan uang ke saku cucunya secara diam-diam, Yang punya “sense of charity”. Tidak tahan melihat orang lain susah. Ling sui nio, seorang yang dermawan.

Ling Sui Nio yang berparas Mongol.
Pernah ada yang bilang kepada saya. “wei, kenapa ko tidak putih, tidak pesek, kurang sipit!”, “Ingat yah, ayah ku orang makassar, wueekkk :P” Gen itu tak turun kepada saya. Sempat saya iri dengan sepupuku, karena ia sedikit berparas cina. Kulit kuning, mata sipit, tapi hidungnya mancung. Persis artis-artis mandarin. (Sirik!)
Paras cina turun ke beberapa ponakan saya kulit kuning, mata sipit, rambut lurus, tapi pesek! Mereka sering di anggap orang cina oleh teman-temannya padahal, Makassar banget!...

Suatu waktu ada kerabat nenek yang meninggal, kami (saya, ibu dan tante) pergi melayat. Kami ke sana dengan pakaian yang serba putih. Pulangnya kami membawa kue, jeruk dan buah-buahan lainnya. Mayatnya dipakaikan jas, dasi, seperti pengantin pria. Iihh, serem juga saya melihatnya. Kulihat tanteku mengambil dupa lalu “bersembahyang”, ibu tidak melakukannya. Alhamdulillah, setelah kami semua paham dien, kami sudah tidak pernah lagi menghadiri acara-acara seperti itu. Bahkan, kami sudah tidak pernah berkumpul dengan kerabat kami yang berasal dari nenek. mereka semua sudah hijrah ke surabaya. Dan, saya pun sudah kehilangan jejak mereka.

Imlek, selalu mengingatkan saya pada nenek dan kerabat-kerabat berkulit kuning, bermata sipit yang suka makan jeruk. 

"Ya Allah, ampunilah dosa-dosa nenekku, lapangkanlah kuburnya dan kumpulkanlah kami kembali di jannah Mu kelak, amiin"

_Sebenarnya, Masih banyak yang ingin ku pelajari dari perempuan tionghoa itu_


*Imlek tak sepatutnya di rayakan oleh kaum muslimin walaupun mereka seorang tionghoa. Namun, disini saya hanya teringat kenangan nenek saya saja

Di selesaikan pada Maret 2011.


Vee

1 comments:

Rifaah said...

another side of kak fit..
menarik sekali, kak.

Saya, tidak punya kenangan apa2 tentang nenek