30 May 2011

Korelasi antara Iman dan Ukhuwah (Positif)


01:30

Sehabis menyantap hidangan makro ekonomi untuk bisnis. Sebelum menutup malam dengan sholat sunnah, Saya tergerak membuka kembali selembar catatan.

Jakarta, 14 Mei ‘11

Selepas majelis ditutup oleh ustad, kami tidak langsung bubar. Seseorang (boleh dikatakan -pemantau-) ingin mengevaluasi sejauh mana pemahaman kami tentang materi yang disampaikan tadi. Point yang paling menarik adalah kisah tentang Umar bin khattab.

Suatu hari umar bin khattab mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam dan Abu Bakar sedang menangis, Lantas Umar pun berkata “Aku juga ingin menangis, katakanlah apa yang membuat kalian menangis?”

Subhanallah, betapa besar kecintaan umar bin khattab kepada Rasulullah dan Abu Bakar sehingga beliau pun ingin menangis karena melihat sahabat-sahabatnya menangis. Beliau juga ingin merasakan apa yang dirasa oleh para sahabatnya.

Kami kemudian dimintai pendapat, “kira-kira apa yang membuat umar bin khattab bersedia meneteskan air mata dan merasakan apa yang dirasa para sahabatnya?”

Jawaban bergilir mulai dari sayap kanan. Tibalah giliran saya. Karena Para peserta menjawabnya dengan mengambil percontohan sehari-hari, maka saatnya saya menjawab secara teoritis.

"Menurut saya,. Yang pertama adalah “iman”, Mengapa Umar bin Khattab bisa merasakan kesedihan para sahabatnya dan ikut menangis? Itu karena keimanan yang dimiliki oleh Umar bin Khattab berada pada sebaik-baik tingkatan. Yang ke dua adalah, Ukhuwah. Mengapa pula, kita terkadang cuek saja, dan tidak bisa merasakan apa yang dirasa saudara, terutama ketika mereka sedang bersedih. Persoalannya ada pada ukhuwah. Kita ketahui bahwa ukhuwah itu punya hierarki. Diantaranya, hilangnya rasa iri dan dengki pada saudara, mencintai saudara kita sama dengan mencintai diri sendiri, dan yang paling tinggi adalah mencintai saudara melebihi diri sendiri. Dan kita belum ada pada tiga titik ini”. begitu jawab saya.

Hierarki Ukhuwah


Ukhuwah juga punya hierarki. Hierarki ukhuwah yang paling rendah adalah husnudzon (berbaik sangka) atau bersih hati (salamatul qalb) dan tidak melukai hati saudaranya.

Firman Allah Ta’ala, ”….dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)

Hierarki pertengahan adalah merasakan apa yang dirasakan saudaranya, mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri.

Rasulullah Shalallahu a'alaihi wasallam Bersabda, “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hierarki tertinggi adalah itsaar, atau mengutamakan saudaranya atas diri sendiri dalam masalah keduniaan. “….mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan….” (Al-Hasyr:9)

Dari sini saya berfikir bahwa ada korelasi positif antara iman dan ukhuwah. Jika ukhuwah kepada saudara seiman itu erat maka iman kita juga pada saat itu sedang baik. Begitupula sebaliknya. Saya mencoba membahasakannya secara matematika, hubungan keduanya mungkin digambarkan seperti di bawah ini :

I = αU

Di mana :
I = keimanan
U = Ukhuwah
α = slope

Artinya, jika U naik sebesar α maka I pun naik sebesar α, katakanlah. Jika α = 2 maka I = 2U, artinya jika U naik 2 satuan maka I pun naik 2 satuan, tentunya masih ada variabel-variabel lain yang mempengaruhi keimanan.

Tetapi, ah! Terlalu dangkal jika kita menggunakan logika matematika soal menyoal tentang keimanan. Karena iman bukan soal angka, tapi soal Rasa. Keyakinan! Bahwa pengukuran keimana adalah hak Allah.

Iman itu tidak linear, dalam Bisnis dynamic mungkin bentuknya menyerupai kurva oscillation, ia Fluktuatif. Trendnya naik turun. Namun,lag-lagi Iman tak dapat ditangkap oleh alat ukur manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan”

Namun, sejatinya kita sebagai manusia, harus selalu berusaha untuk menambah keimanan, minimal mempertahankan.

Mengapa keimanan itu harus dijaga? Sebab iman adalah penggerak.

Iman adalah faktor utama yang menggerakkan kita untuk berbudi dan beramal sholih. Selalu, dan selalu dalam Al-Qur’an dikatakan “yaa ayyuhalladzina aamanu” hai orang-orang yg beriman, tidak pernah “hai orang-orang muslim” karena memang tingkatan yang mampu membuat kita menoleh dan bergerak menuju panggilan Allah adalah tingkatan dien yang kedua ini “iman”.

Iman pulalah yang menggerakkan ukhuwah itu. Dari ukhuwah terikatlah sebuah Cinta atas nama Allah.

Jika iman itu tidak linear, berarti setiap manusia punya peluang untuk keliru dan benar. Lalu pantaskah kita menilai saudara kita hanya dari satu sisi? Adil kah kita mengukur mereka dari satu kekhilafan saja? Jawabannya tidak. Sebab, itu tadi. Kebaikan dan kekurangan seseorang tak dapat di cover seluruhnya oleh mata manusia. Tak dapat dikalkulasi oleh angka.

Seperti yang diajarkan oleh dien kita, ketika ingin menyesatkan dan mengkafirkan seseorang atau kelompok misalnya. tidak serta merta kita langsung memutuskan. Tetapi ada beberapa syarat atau tingkatan sampai seseorang itu dikatakan sesat atau kafir.

Olehnya, jangan buru-buru menghadiahkan raport merah kepada saudara kita, karena mungkin masih banyak angka biru yang terukir dalam hidupnya. Boleh jadi, merah kita lebih banyak dari pada mereka.

Tetap saling nasehat menasehati, namun senantiasalah berhusnudzon, sebab ini adalah tingkatan ukhuwah yang paling rendah. Jika ini saja tak mampu kita tunaikan, apatah lagi tingkatan selanjutnya. Wallahu a'lam

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah seduta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”

diselesaikan pada 31 Mei '11

Vee, Bogor.
_____

*Tulisan untuk diri sendiri dan juga ku share Untuk saudaraku Fillah.
(silahkan berpendapat)

2 comments:

Anonymous said...

masih terlalu berat ukh.....tapi ana mohon do'ax

Fitri Salsabilah (Vee) said...

kami juga demikian adanya, sangat berat. tapi hakekat hidup adalah belajar,jadi senantiasalah kita belajar untuk itu. wallahu a'lam.