17 September 2012

Hunger di Negeri Beras (Sebuah Opini)



Oleh : FITRI*

Indonesia masih terus berperang melawan kelaparan. Perang ini lebih kompleks dari pada perang melawan terorisme. Masalah pangan bukanlah hal yang dapat dianggap remeh. Hal tersebut merupakan masalah yang sangat serius dan strategis. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditunda pemenuhannya. Pangan erat hubungannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan ketahanan nasional. Negara besar seperti Uni Sovyet adalah salah satu contoh nyata, bahwa pangan mampu menyulutkan perpecahan di negara tersebut.

Tidak ada yang menyangsikan kekayaan Indonesia, dari Sabang sampai Merauke semua kekayaan berlimpah, segalanya ada. Terlebih lagi potensi pertaniannya, Indonesia merupakan salah satu negara agraris tropis terbesar di dunia setelah Brasil. Indonesia memiliki 11% wilayah tropis yang dapat ditanami dan dibudidayakan sepanjang tahun. Total luas lahan yang dapat ditanami sekitar 119 juta hektar (Badan Pusat Statistik, 2008). Potensi pertanian tropis ini bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan Cina. Cina merupakan Negara yang hampir sebagian besar lahannya subtropis. Jika dibandingkan dengan India sekalipun, Indonesia masih unggul dalam ketersediaan lahan tropis. Artinya, Indonesia mampu dan berpotensi besar menjadi salah satu pusat pangan tropis dunia.


Pengarang buku The History of Java, Raffles, merasa takjub pada kesuburan alam Jawa. Raflles berkata: “Apabila seluruh tanah yang ada dimanfaatkan, bisa dipastikan tidak ada wilayah di dunia ini yang bisa menandingi kuantitas, kualitas, dan variasi tanaman yang dihasilkan pulau ini”. Ini baru pulau Jawa belum pulau-pulau lainnya.

Hunger

Walaupun bangsa Indonesia dilimpahi tanah dan lahan tropis yang sangat luas dan subur serta iklim yang cocok, tetapi ironinya, pemenuhan kebutuhan pangan pokok terutama beras masih menjadi persoalan. Sebagian besar penduduk masih dihadapkan pada kelangkaan dan mahalnya serta sulitnya mengakses kebutuhan pangan pokok tersebut.

Kondisi ini tidak seharusnya terjadi, mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah produksi beras terbesar di ASEAN. Produktivitas tanaman pangan padi Indonesia lebih tinggi 20% dibandingkan produktivitas negara-negara ASEAN lainnya.

Kelaparan (hunger) memang tidak lagi jadi trend di negara ini, namun di sejumlah daerah ancaman kelaparan dan gizi buruk (busung lapar) masih terus terjadi. Di Makassar misalnya. Kita tentu masih ingat dengan kasus yang menimpa almarhum Besse dan Aco tahun 2008 lalu. Akibat tidak memiliki makanan, Besse mati kelaparan sedangkan anaknya yang bernama Aco mengalami gizi buruk. Kasus tersebut hanya satu dari sekian banyak pencapaian prestasi buruk bangsa ini. Sebuah fakta, di negara beras masih ada kasus kelaparan. Layaknya pameo umum: ayam mati di lumbung padi. Sungguh sangat memalukan.

Kejadian busung lapar belakangan ini memang sudah lebih kecil jika dibandingkan masa lalu. Busung lapar terjadi pada kantong-kantong masyarakat tertentu. Meskipun tidak lagi menjadi bencana nasional, namun kejadian ini masih tetap terjadi dengan irama yang lebih pelan.

Sindrom ini telah menjadi ancaman serius. Para penderita busung lapar umumnya adalah balita. Akibatnya, meskipun penderita gizi buruk atau busung lapar bisa bertahan hidup dan tumbuh menjadi dewasa, mereka akan menderita kelemahan mental, lemah otak (lemot), pertumbuhan fisik terlambat, dan rentan terserang penyakit. Perlu kita ingat bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa yang akan membangun negeri ini, lalu apa jadinya jika mereka lemot karena kurang gizi?

Hasil analisis Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa lebih dari setengah jumlah kabupaten/kota di Indonesia memiliki prevalensi balita kurang gizi, sedangkan proporsi penduduk yang mengonsumsi energi kurang dari 2100 kalori/orang/hari sebesar 64%.

Busung lapar sekarang ini harus diselesaikan di tingkat grass root. Para kepala desa, camat, ataupun lurah harus menanggulangi masalah ini dengan bantuan dengan berkoordinasi dengan kepala daerah (Gubernur/bupati). Jika kepala desa, camat, dan kepala daerah tidak menyadari masalah tersebut, maka solusinya tidak akan pernah terdeteksi sekalipun produksi beras melimpah.

Dalam Undang-undang Otonomi Daerah disebutkan bahwa Bupati dan Walikota bertanggungjawab atas ketahanan pangan di daerahnya. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dalam Bab VI Pasal 13 ayat 1 tertulis dengan jelas bahwa “Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan atau Pemerintah Desa melaksanakan kebijakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat”


Kasus kelaparan dan gizi buruk ini bukan hanya disebabkan karena rendahnya tingkat produksi tetapi juga lebih kepada minimnya “akses” masyarakat. Distribusi yang tidak fair, menjadikan sebagian masyarakat kita tidak mampu mengakses pangan. Ketidakmampuan mengakses pangan lebih disebabkan oleh daya beli masyarakat kita yang tergolong rendah. Hal ini merupakan implikasi dari sebuah kemiskinan struktural.

Paradoks

Kemiskinan selalu menjadi tersangka utama penyebab lemahnya daya beli pangan. Tidak heran, kasus kelaparan dan gizi buruk selalu terjadi di kalangan masyarakat miskin. Mereka kurang mendapat perhatian dan sering dianggap enteng, baik oleh birokrasi pemerintah dan elite politik bangsa ini. Masih ada ketimpangan (inequality) dan ketidakadilan (unfairness) dalam penguasaan dan pengusahaan sumberdaya pokok. Di tengah fenomena kelaparan dan kemiskinan, korupsi justru semakin menggila. Sementara negara masih punya banyak utang di sana-sini, harga kebutuhan pokok tak mampu dijinakkan. Pendidikan dan kesehatan semakin mahal. Para wakil rakyat sibuk dengan program-program “penggemukan diri” dan melupakan program “penggemukan” rakyat yang diwakilinya.

Data badan pusat statistik 2009 menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia sebesar 32.530.000 juta jiwa. Ada 11.910.5000 berada di perkotaan dan 20.619.400 berada di pedesaan. Bila diukur menggunakan Standar Internasional-World Bank, angka kemiskinan akan jauh lebih besar. Kita bisa melihat dari angka-angka yang dipulikasikan oleh BPS. Penduduk miskin paling besar berada di perdesaan yang notabene menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian. Sebuah paradoks, daerah pedesaan sebagai daerah penghasil pangan namun masyarakatnya kurang memiliki akses terhadap pangan yang dibutuhkan.

Upaya pemberian beras murah untuk orang miskin (Raskin) bukanlah langkah yang efektif. Pemberian bantuan dan skema karitas belas kasihan (charity) hanya akan membentuk mental pemalas. Saat ini kita membutuhkan upaya konkrit untuk penyerapan lapangan kerja dan pengurangan disparatis pendapatan di pedesaan. Walaupun sudah ada program pemberdayaan masyarakat seperti PNPM namun bantuan-bantuan yang justru “menghinakan” rakyat miskin harus tetap diubah dengan program yang lebih berkelas. Adalah lebih berharga dan mendidik serta menempatkan kelompok masyarakat lebih terpandang, bila mereka mendapatkan upah atau insentif dari setiap pekerjaan yang mereka lakukan sendiri.

Pembangunan pertanian dan pedesaan adalah jawaban dalam menanggulangi kemiskinan di negeri ini. Sebab Indonesia adalah negara agraris sehingga potensi-potensi yang ada harus dikelola secara maksimal. Sumber daya yang dimiliki oleh rakyat adalah UMKM agribisnis. Jika Indonesia mampu membangunan pertanian yang berbasis agribisnis dengan mengintegrasikan empat subsistem yaitu subsistem hulu, onfarm, hilir, dan supporting system, kemandirian pangan akan terwujud, sehingga kelaparan akan menjadi sejarah yang tak terulang. Lebih dari itu, Indonesia akan mampu menjadi the king of food di masa yang akan datang. Kita akan lebih kaya dan berkuasa dari pada negara apapun, jika kita mampu berkuasa atas pangan. Ini bukan sebuah hal yang mustahil.

* Mahasiswa Pascasarjana IPB. Program Magister Sains Agribisnis

0 comments: